إن الإنسان خلق هلوعا إذا مسه الشر جزوعا
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” (QS. al-
Ma’arij: 19)
Kebahagiaan rumah tangga yang menjadi tujuan setiap keluarga terbentuk di atas beberapa faktor, yang terpenting adalah faktor anggota keluarga. Mereka inilah faktor dan aktor pencipta kebahagiaan dalam rumah tangga, atau sebaliknya, kesengsaraan rumah tangga juga bisa tercipta oleh mereka. Dari anggota rumah tangga, faktor yang paling berperan besar dalam perkara ini adalah istri, karena dia adalah ratu dan ikon utama sebuah rumah tangga, ia adalah rujukan suami dan tempat kembali anak-anak, maka dalam bahasa Arab dia disebut dengan ‘Um’ yang berarti induk tempat kembali.
Sebagai pemeran utama dalam panggung rumah tangga, karena perannya yang cukup signifikan di dalamnya, maka istri harus membekali diri dengan sifat-sifat dan kepribadian-kepribadian sehingga dengannya dia bisa mengemban tugas dan memerankan perannya sebaik mungkin, dengan itu maka kondisi yang membahagiakan dan situasi yang menentramkan di dalam rumah akan terwujud.
Mengetahui skala prioritas
Dunia memang luas dan lapang, namun tidak dengan kehidupan, yang akhir ini, selapang dan seluas apa pun tetap terbatas, ada tembok-tembok yang membatasi, ada rambu-rambu yang mengekang, namun pada saat yang sama tuntutan dan hajat kehidupan terus datang silih berganti seakan tidak akan pernah berhenti, kondisi ini mau tidak mau, berkonsekuensi kepada sikap memilah skala prioritas, mendahulukan yang lebih penting kemudian yang penting dan seterusnya.
Sebagai ikon dalam rumah tangga, istri tentu mengetahui benar keterbatasan rumah tangga di berbagai sisi kehidupan, keterbatasan finansial dan ekonomi misalnya, sebesar apapun penghasilan suami plus penghasilan istri (jika istri bekerja), tetap ada atap yang membatasi, ada ruang yang menyekat, tetap ada hal-hal yang tidak terjangkau oleh uang hasil usaha mereka berdua, ditambah dengan jiwa manusia yang tidak pernah berhenti berkeinginan, keadaannya selalu berkata, “Adakah tambahan?”, maka sebagai istri yang membahagiakan, dia harus mengetahui dengan baik prinsip dasar ini, mendahulukan perkara yang tingkat urgensinya tertinggi kemudian setelahnya dan seterusnya.
Keterbatasan dalam hubungan di antara suami dan istri, mungkin karena latar belakang keduanya yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, keluarga yang berbeda, tabiat dan watak yang berbeda, hobi dan kesenangan yang berbeda, waktu yang tersedia untuk berdua minim, semua itu membuat hubungan suami istri serba terbatas, namun hal ini bukan penghalang yang berarti, selama istri memahami kaidah prioritas ini.
Istri yang baik adalah wanita yang mengetahui tatanan prioritas dengan baik, dalam tataran hubungan suami istri, secara emosinal dan fisik, dalam tatanan rumah tangga, secara formalitas dan etika, ia menempati deretan nomor wahid.
Sekali lagi wajar, selama hal itu masih realistis. Dan soal harapan dan ambisi biasanya istri selalu yang menjadi motornya. Dalam sebuah ungkapan dikatakan, “Wanita menginginkan suami, namun jika dia telah mendapatkannya, maka dia menginginkan segalanya.” Memang tidak semua wanita, karena ini hanya sebuah ungkapan dan tidak ada ungkapan yang general. Namun dalam batas-batas tertentu ada sisi kebenarannya, karena tidak jarang kita melihat beberapa orang suami yang banting tulang dan peras keringat demi kejar setoran yang telah dipatok istrinya.
Realistis dalam menuntut
Di hari-hari pertama pernikahan, biasanya dalam benak orang yang menjalani tersusun rencana-rencana yang hendak diwujudkan, tertata target-target yang hendak direalisasikan, terlintas harapan-harapan yang hendak dibuktikan. Umum, lumrah dan jamak. Kata orang, hidup ini memang berharap, karena berharap kita bisa tetap eksis hidup dengan berbagai macam siatuasi dan kondisinya. Demikian pula dengan sebuah rumah tangga. Tahun pertama harus memiliki anu. Tahun kedua harus ada ini. Tahun ketiga, keempat dan seterusnya.
Sekali lagi wajar, selama hal itu masih realistis. Dan soal harapan dan ambisi biasanya istri selalu yang menjadi motornya. Dalam sebuah ungkapan dikatakan, “Wanita menginginkan suami, namun jika dia telah mendapatkannya, maka dia menginginkan segalanya.” Memang tidak semua wanita, karena ini hanya sebuah ungkapan dan tidak ada ungkapan yang general. Namun dalam batas-batas tertentu ada sisi kebenarannya, karena tidak jarang kita melihat beberapa orang suami yang banting tulang dan peras keringat demi kejar setoran yang telah dipatok istrinya. Maka alangkah bijaknya jika dalam menuntut dan mencanangkan target memperhatikan realita dan kapasitas suami, jika sebuah harapan sudah kadung digantung tinggi, lalu ia tidak terwujud, maka kecewanya akan berat, bak orang jatuh dari tempat yang sangat tinggi, tentu sakitnya lebih bukan?
Sebagian istri memaksa suami menelusuri jalan-jalan yang berduri dan berkelok-kelok, di mana dia tidak menguasainya, jika suami mengangkat tangan tanda tak mampu mewujudkan sebagian dari tuntutannya, maka istri berteriak mengeluh. Hal ini, sesuai dengan tabiat kehidupan rumah tangga, menyeret kehidupan rumah tangga kepada jalan buntu selanjutnya yang muncul adalah perselisihan, jika ia menyentuh dasar kehidupan, maka bisa berakibat keruntuhannya.
Seorang istri shalihah selalu mendahulukan akalnya, dia tidak membuat lelah suaminya dengan tuntutan-tuntutan yang irasional, tidak membebaninya di luar kemampuannya dan tidak memberatkan pundaknya dengan permintaan-permintaan demi memenuhi keinginan-keinginannya semata.
Salah satu contoh yang jarang ditemukan yang terjadi dalam sejarah tentang keteladanan sebagian istri yang begitu memperhatikan keadaan suami tanpa batas walaupun hal tersebut berarti mengorbankan kemaslahatannya sendiri adalah apa yang diriwayatkan oleh kitab-kitab ath-Thabaqat tentang Fatimah az-Zahra` pada saat dia dan suaminya Ali bin Abu Thalib mengalami kesulitan hidup yang membuatnya bermalam selama tiga malam dalam keadaan lapar, pada saat Ali melihatnya pucat, dia bertanya, “Ada apa denganmu wahai Fatimah?” Dia menjawab, “Telah tiga malam ini kami tidak memiliki apa pun di rumah.” Ali berkata, “Mengapa kamu diam saja?” Fatimah menjawab, “Pada malam pernikahan bapakku berkata kepadaku, ‘Hai Fatimah, kalau Ali pulang membawa sesuatu maka makanlah, kalau tidak maka jangan memintanya.”
Kebahagiaan rumah tangga bergantung kepada perasan istri dalam skala lebih besar daripada yang lain, jika istri tidak bermental kaya, maka dia akan selalu merasa kekurangan, akibatnya dia akan mengeluh ke mana-mana dengan kekurangannya. Kurang ini, kurang itu, kurang anu dan seterusnya. Mentalnya adalah mental sengsara, mental miskin, minim syukur, memposisikan diri sebagai orang miskin sehingga seolah-olah dirinya patut diberi zakat. Padahal seorang wanita bisa saja memiliki segala keutamaan di kolong langit ini
Bermental kaya
Mental kaya, dalam agama dikenal dengan istilah qana’ah, rela dengan apa yang Allah Subhanahu waTa’ala bagi sehingga tidak menengok dan berharap apa yang ada di tangan orang lain. Kaya bukan kaya dengan harta benda, namun kaya adalah kaya hati, artinya hati merasa cukup. Sebanyak apa pun harta seseorang, kalau belum merasa cukup, maka dia adalah fakir. Kata fakir dalam bahasa Arab berarti memerlukan, jadi kalau seseorang masih memerlukan [baca: berharap dan menggantungkan diri] kepada apa yang dimiliki oleh orang lain tanpa berusaha, maka dia adalah fakir alias miskin.
Kebahagiaan rumah tangga bergantung kepada perasan istri dalam skala lebih besar daripada yang lain, jika istri tidak bermental kaya, maka dia akan selalu merasa kekurangan, akibatnya dia akan mengeluh ke mana-mana dengan kekurangannya. Kurang ini, kurang itu, kurang anu dan seterusnya. Mentalnya adalah mental sengsara, mental miskin, minim syukur, memposisikan diri sebagai orang miskin sehingga seolah-olah dirinya patut diberi zakat. Padahal seorang wanita bisa saja memiliki segala keutamaan di kolong langit ini, akan tetapi semua keutamaan ini tidak ada nilai dan harganya jika yang bersangkutan mempunyai tabiat sengsara dan mental miskin. Kedua tabiat ini bagi wanita menyebabkan kesengsaraan bagi suami dan kenestapaan bagi rumah tangga.
Banyak wanita sejak zaman batu sampai hari ini merasa nyaman dengan tabiat sengsara dan mental miskin ini. Dalam kehidupan sejarah, Nabiyullah Ibrahim ’alaihissalam pernah menemukan dua orang wanita, yang pertama bermental miskin dan yang kedua bermental kaya, keduanya pernah menjadi istri bagi anaknya, Ismail. Dengan bahasa sindiran, Nabi Ibrahim ’alaihissalam pernah meminta Ismail untuk berpisah dari istri pertamanya. Ibrahim ’alaihissalam melihat istri pertama anaknya bukan istri yang layak, karena dia bermental miskin. Ketika Ibrahim ’alaihissalam bertanya kepadanya tentang kehidupannya dengan suaminya, yang Ibrahim ’alaihissalam dengar dari mulutnya hanyalah keluh kesah. Sebaliknya istri kedua, jawabannya kepada mertuanya mengisyaratkan bahwa dia adalah istri yang pandai bersyukur dan bersikap qana’ah, maka Ibrahim ’alaihissalam meminta Ismail untuk mempertahankannya.
Dalam kehidupan ini tidak sedikit kita menemukan istri model seperti ini. Ditinjau secara sepintas dari keadaan rumahnya, rumah milik sendiri, lengkap dengan perabotan elektronik yang modern, didukung kendaraan keluaran terbaru, tapi dasar mentalnya mental miskin, maka yang bersangakutan tetap mengeluh seolah-olah dia adalah orang termiskin di dunia. Apakah hal ini merupakan kebenaran dari firman Allah Subhanahu waTa’ala, yang artinya, “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.” (QS. al-Ma’arij: 19). Tanpa ragu, memang.
Jika istri bermental kaya, maka keluarga akan merasa kaya dan cukup. Ini menciptakan kebahagiaan. Jika istri bermental melarat, maka yang tercipta di dalam rumah adalah iklim melarat dan ini menyengsarakan.